01 Maret 2012

ABALONE (Haliotis sp)

PENGARUH UMUR GAMET TERHADAP
SUKSES FERTILISASI Haliotis spp (ABALONE)
DALAM PERCOBAAN DI LABORATORIUM


Oleh : Sukirman Tilahunga,S.IK
Cp.085240090354


1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Haliotis varia adalah salah satu genus dari filum Mulusca, kelas Gastropoda. Kurang lebih 75 spesies dari molusca ini terdistribusi di dunia dan diketahui kira-kira 20 spesies diantaranya berukuran relatif besar. Spesies-spesies ini memiliki nilai pasar yang sangat tinggi (Singharaiwan dan Doi 1993).
Nateewathana dan Hylleberg (1986) mengemukankan bahwa daging Haliotis variaI dapat dimakan mentah, dimasak, dikeringkan, ataupun diasingkan. Haliotis di negara-negara yang sudah maju seperti Amerika serikat, Jepang, Perancis, Australia dan China, banyak digemari sebagai makanan kaleng, sedangkan di Indonesia pemenfaatan biota ini baru berkisar pada pemanfaatan cangkang sebagai bahan baku untuk pembuatan perhiasan, cendramata, dan kancing baju (Dharma 1988).
Mengingat manfaatnya yang cukup besar bagi kebutuhan manusia, maka perlu diadakan penelitian menyangkut aspek reproduksi khususnya pada saat fertilisasi.
Fertilisasi adalah fase dimana bertemunya gamet jantan dan gamet betina yang kemudian membentuk zigot. Hahn (1989) menyatakan fertilisasi merupakan fase yang sangat kritis pada proses pembelahan yang harus dilewati oleh setiap individu yang bereproduksi untuk mempertahankan eksistensinya di alam termasuk Haliotis, disamping itu lamanya waktu yang digunakan pada fase ini juga memegang peranan penting untuk dapat mecapai sukses fertilisasi, dimana fertilisasi itu sendiri menentukan banyaknya tingkat keberhasilan suatu individu baru yang bisa bertahan hidup untuk menjadi individu dewasa.
Jumlah telur yang dihasilkan Haliotis relatif banyak, tetapi yang akan menjadi individu sampai dewasa hanya sebagian kecil saja (Dharma 1988). Laju pertumbuhannya mencapai kisaran 2,5 cm/tahun (Leighton 1989). Di Jepang kultur Haliotis varia selama 2 tahun baru mencapai 3,5 cm – 4,00 cm, sedangkan untuk ukuran yang komersil sekitar 9 cm atau yang telah berumur 4 - 5 tahun (Body 1987).

1.2. Perumusan Masalah
Abalone (Haliotis) adalah salah satu genus dari filum Molusca, dimana sekarang ini mempunyai nilai pasar yang sangat tinggi sehingga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Dengan adanya peningkatan tingkat eksploitasi dari abalone, disatu sisi akan menguntungkan manusia, tetapi disisi lainnya yang akan timbul yaitu kemungkinan terancamnya kelestarian spesies-spesies ini.
Oleh karena itu perlu suatu langkah alternatif untuk mencegah akan kepunahan sumberdaya hayati laut tersebut. Salah satu langkah yang dapat dipertimbangkan adalah dengan melakukan kultur larva abalone sebanyak mungkin untuk selanjutnya dilepaskan ke habitatnya.


Beberapa pertanyaan sehubungan dengan suksesi fertilisasi abalone yaitu : Bagaimana langkah awal untuk memproduksi larva abalone? Faktor lingkungan apa saja yang mendukung proses pematangan gonad abalone? Bagaimana menentukan abalone tersebut sudah matang gonad? Kapan abalone ini akan mengalami fertilisasi? Bagaimana proses fertilisasi abalone dan penanganannya yang di lakukan di Laboratorium?
Penelitian ini diharapkan dapat mengungkap beberapa aspek sukses fertilisasi abalone yang dilakukan di Laboratorium Biologi kelautan Fakultas Perikanan Unsrat Manado.

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui proses fertilisasi abalone yang dilakukan di laboratorium.
2. Membandingkan suksesi fertilisasi abalone yang dilakukan di laboratorium dengan suksesi fertilisasi yang terjadi secara alamiah di habitnya.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Karakter Morfologi
Jenis abalone atau siput lapar kenyang yang di temukan di perairan Indonesia hanya satu genus yaitu Haliotis (Dharma 1988). Kaligis (1993) mendapatkan bahwa di Sulawesi Utara terdapat 2 spesies yaitu Haliotis varia dan Haliotis asinina. Secara lengkap Haliotis diklasifikasikan menurut Dharma (1988) sebagai berikut :
Filum : Molusca
Kelas : Gastropoda
Sub kelas : Prosobranchia
Ordo : Archaeogastropoda
Super famili : Pleurotomariaceae
Famili : Haliotidae
Genus : Haliotis
Spesies : Haliotis spp
Cangkang dari abalone berbentuk telinga. Apex terletak dekat ujung posterior, bentuknya kecil. Mulut organisme ini sangat lebar dan hampir samua bagian dalam cangkang tampak. Sepanjang tepi kiri berderet lubang respirasi yang mana setiap spesies jumlahnya berbeda. Lubang respirasi yang pertama terletak paling dekat dengan ujung posterior. Untuk lebih jelasnya lihat pada gambar 1.


Gambar 1. Cangkang dari abalone (Anonim, 2004).

Pada bagian kepala abalone terdapat sepasang mata, sepasang tentakel dan satu mulut. Tentakel diproyeksikan menempel ke otot melewati lubang respirasi, dan beberapa tentakel terletak teratur sepanjang tepi kiri cangkang. Lubang respirasi digunakan untuk mengeluarkan produk reproduksi dan kakinya memempel di sisi cangkang (Gambar 2).




Gambar 2. Tubuh Lunak Abalone (Phusuk dan Hylleberg, 1986)


2.2. Habitat
Abalone (Haliotis) mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya oleh karenanya organisme ini menyebar luas dengan kondisi habitat yang bervariasi (Barnes 1988). Sebagai organisme yang hidup di daerah intertidal, maka kehidupan Abalone (Haliotis) sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tempratur, salinitas dan pasang surut. Faktor salinitas di daerah intertidal sangat dipengaruhi oleh air yang mengalir masuk saat hujan deras (Nybakken 1992).
Organisme ini umumnya menempati habitat yang keras, di daerah yang dangkal bertemperatur 8 0 – 22 0 C dan juga ada yang hidup di daerah pasang surut. Sebagai contoh Haliotis varia hidup pada batuan di daerah intertidal dengan kedalaman 1 - 2 meter. Selama seharian abalone melekat pada celah batuan sempit atau liang yang telah dilubangi oleh Sea Urchins Echinometra mathei. Untuk Haliotis avina biasanya mendiami karang atau batu di daerah intertidal yang lebih dangkal, sedangkan untuk Haliotis asininna biasanya ditemukan pada bagian bawah dari batu karang pada kira-kira kedalaman air 1 meter (Phusuk dan Hylleberg 1986).


2.3. Makanan
Abalone termasuk hewan herbivora. Pada tahap veliger tidak memerlukan makanan karena mereka dapat memanfaatkan kuning telurnya yang ia miliki sejak awal metamorfosis. Sesudah metamorfosis mereka dapat makan diatom bentik, alga dan detritus (Nugranad 1991).
Menurut Phusuk dan Hylleberg (1986) abalone makan pada malam hari. Abalone yang lebih besar dari 10 mm suka makan alga yang lebih besar seperti alga merah, alga coklat, alga hijau,dan alga yang unicelluler.

2.4. Reproduksi dan Perkembangbiakan
Ada tiga kemunkinan cara perkembangbiakan yang berlaku bagi invertebrata yaitu : secara planktotrofik, lesitotrofik, dan langsung (Ockelman 1964). Abalone termasuk pada perkembangan planktontrofik dimana dengan menghasilkan sejumlah besar telur-telur yang pada akhirnya akan menetas menjadi larva yang berenang bebas sebagai plankton.
Kershaw (1983) menyatakan bahwa kopulasi yang terjadi pada famili Haliotidae dilakukan dengan pertukaran sperma yang membentuk spermatophora terdiri dari kepala, leher, badan dan ekor serta melakukan fertilisasi eksternal. Menurut Barnes (1988) kelompok prosobranchia memiliki alat kelamin jantan dan betina yag terpisah sehingga pembuahan terjadi di luar tubuh induknya.
Famili Haliotidae memiliki ruang kopulasi yang terletak disebelah kelenjar kapsul yang pertama menerima sel sperma saat kopulasi, kemudian sperma akan berpindah ke reseptakel pembenihan yang terletak dekat kelenjar albumen untuk disimpan (Harahap 1993). Kemudian Fallu (1991) menyatakan kelenjar testis yang matang berwarna putih susu sedagkan ovari berwarna hijau gelap dan agak sulit membedakan dengan hepatopankreas apabila hanya dilihat dengan mata telanjang kecuali menggunakan kaca pembesar.
Singhagraiwan dan Doi (1993) mengatakan bahwa puncak musim pemijahan Haliotis setiap tahun hanya terjadi pada bulan september sampai dengan bulan maret. Hal ini disebabkan karena Tingkat Kematangan Gonad pada bulan-bulan tersebut meningkat sehingga aktifitas pemijahan dapat berlangsung. Musim pemijahan dari Haliotis dapat dilihat pada gambar 3.









Gambar 3. Musim Pemijahan Haliotis (Singharaiwan dan Doi 1993)
2.4.1. Pemijan Buatan
Ada beberapa metode yang digunakan untuk merangsang agar pemijahan secara buatan dapat terjadi, yaitu :
A. Gamet Stripping (Pengurutan)
Pertama, abalon yang sudah matang gonad dipisahkan tubuh lunaknya dengan cangkang, gonadnya di tekan dengan jari agar sperma mengalir keluar melalui lubang ginjal dan sperma itu ditampung dalam bejana yang berisi air laut. Untuk betina dilakukan hal yang sama dengan jantan dan ditampung dalam bejana lain. Dua sampel ini kemudian disaring dan dicampur bersama-sama. Air laut dialirkan pada penyaring victoria law untuk membersihkan gamet yang rusak.
Setelah pengaliran air laut dalam bejana, maka diharapkan pada wadah tersebut terjadi pertilisasi (Hahn 1989).
B. Desiccation (Pengeringan)
Menurut Hahn (1989) metode pemijahan ini harus induk dewasa kemudian matang gonad, diperkirakan bila matang gonad pemijahan alami dapat terjadi. Individu-individu yang akan memijah dikeluarkan dari air selama satu jam dan kemudian individu tersebut dipindahkan kembali ke air. Proses ini dapat diulang sampai terjadi fertilisasi.
C. Thermal Shock (Shock Panas)
Metode ini digunakan dengan menempatkan secara bersama-sama induk jantan dan betina yang sudah matang gonad dalam satu wadah. Wadah tersebut dinaikan temperaturnya 3 – 6 0 C di atas temperatur lingkungan selama 30 menit. Setelah itu berangsur-angsur di turunkan ke temperatur biasa selama 2,5 jam.
Ada variasi lain yaitu menempatkan induk ke dalam wadah yang telah berisi air laut, yaitu temperatur wadah ini dinaikan 2,4 – 4 0 C di atas temperatur lingkungan selama 60 - 90 menit. Kemudian dikembalikan ke temperatur semula. Jantan akan memijah 1 - 2 jam kemudian sesudah rangsangan dengan menggunakan metode ini, yang nantinya akan diikuti oleh betina. Metode ini dapat diulang-ulang hingga terjadi fertilisasi.
D. Hydrogen Peroxyde
Pada metode ini pertama, pH air dinaikan sampai 9,1 dengan pemambahan 6,6 ml dari 2 M tris (Hyroxymethylaminomethane) untuk setiap liter dalam wadah. Setelah itu ditambahkan air sampai volume akhir 100 ml. Tris dipakai untuk menaikan pH dalam suatu wadah. 15 menit setelah penambahan tris, ditambahkan lagi 3 ml larutan hydrogen peroxyde di tambah ke dalam wadah selalu diaduk agar larutan tersebut tercampur. Disimpan selama 2,5 jam. Setelah itu wadah dibilas agar larutan tris hilang, sebab akan menyebabkan gamet akan mati. Pemijahan akan mulai setelah 2,5 jam setelah ditambahkan hidrogen peroxyde.



2.4.2. Pemijahan di Alam
Aktifitas pemijahan untuk organisme invertebrata pada umumnya berlangsung pada periode bulan baru (Giese et al, 1987), Pemijahan dimulai dimana jantan melepaskan sperma melalui lubang respirasi yang terbuka di sepanjang tepi cangkang.
Suhu dapat merangsang Haliotis untuk melakukan pemijahan, kenaikan suhu perairan akan meningkatkan kematangan gonad dan gerakan ombak menambah rangsangan bagi kecepatan memijah, fauna ini pula dapat merasakan adanya sperma dan telur dalam air sebagai faktor rangsangan dalam proses pemijahan (Fallu 1991 1991).
Apabila salah satu individu dewasa melakukan pemijahan maka fauna sejenisnya yang sudah matang gonad dan berada di dekatnya juga kan melepaskan sel telur atau sel spermanya. Dalam keadaan normal Haliotis jantan lebih sensitif terhadap rangsangan lingkungan dan akan lebih dahulu melepaskan sel spermanya ke dalam air sebelum haliotis betina melepaskan sel telurnya.
Fallu (1991) juga menyatakan bahwa kelenjar kelamin jantan yang sudah matang berwarna agak keputihan, sehingga bila dilepas ke dalam air akan tampak seperti warna putih susu. Sel sperma di dalam air laut dapat bertahan hidup untuk melakukan fertilisasi selama 4 sampai 5 jam, tetapi akibat adanya pengaruh alam atau gangguan dalam perairan menyebabkan sel sperma rusak sebelum digunakan.
Sebagian besar sel kelamin betina berwarna hijau, apabila warna berubah menjadi coklat sampai biru, maka inilah yang memberikan ciri khas pada kelenjar kelamin betina yang sudah mati. Ukuran telur kecil berdiameter 0,2 mm dan berada dalam jumlah yang besar dan umumnya produksi telur tergantung pada ukuran tubuh tetapi ada juga yang tergantung pada jenis.
Apabila sel-sel gamet jantan dan betina sudah menyatu, maka telur yang mengalami fertilisasi eksternal akan terbagi secara berulangkali sehingga akan membentuk larva. Setelah melakukan pembuahan Haliotis akan mulai makan dan bertumbuh menjadi dewasa serta matang secara seksual bersamaan dengan tahap perkembangan gonad sehingga dapat melakukan siklus hidup kembali.
Menurut Fallu (1991) fase perkembangan Haliotis terdiri dari beberapa tahap yaitu pertama individu jantan dan betina yang sudah matang gonad dan siap untuk memijah akan mencari pasangannya masing-masing untuk melakukan fertilisasi eksternal dengan melepaskan sel-sel gametnya pada bagian permukaan air; selanjutnya akan terjadi pertemuan antara gamet jantan dan betina sehingga menjadi zigote; kemudian perkembangan menjadi blastula yang merupakan suatu kumpulan dari beberapa emberio yang siap menetas menjadi larva trochopore atau tahap perkembangan dari blastula yang ditandai dengan rongga embrio yang melebar dan akan mengapung ditengah permukaan air dan hidup sebagai plankton; kira-kira satu hari setelah fertilisasi larva planktonik akan mulai bergerak dengan berlahan-lahan, yang disebut prediveliger. Prediveliger ini dikarakteristikkan dengan perkembangan ‘otolith’, ‘propodium’ diatas silia dan otot penarik (retrator) di dalam lapisan berongga. Morphogenesis dari prediveliger diakhiri dengan adanya bentuk tabular dan tentakel ‘cephalic’. Seperti yang terlihat pada gambar 4.
Setelah setlement abalone mengeluarkan cangkang awal dan menjadi juvenil atau ‘plantigrade’ juvenil. Kira-kira satu bulan sesudah fertilisasi, panjang cangkangnya menjadi 2 mm dan pada juvenil ini mulai terlihat lubang respirasi paertama (Singhagraiwan dan sasaki 1991 dalam Singhagraiwan dan Doi 1993).












Gambar 4. Sketsa dari Prediveliger (Singhagraiwan dan Doi 1993)


Tabel 1. Waktu yang diperlukan untuk perkembangan embrio dan larva (singhagraiwan dan Doi 1993).

Tahap Waktu setelah fertilisasi
Telur fertilisasi
Cleavage pertama
Cleavage kedua
Cleavage ketiga
Morula
Blastula
Gastrula
Awal trochophora
Akhir trochophora
Menetas
Awal veliger
Awal dari larva yang bergerak berlahan-lahan
Larva yang bergerak berlahan-lahan


3. LOKASI DAN METODE
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di teluk manado kemudian di lanjutkan di Laboratorium Biologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi. Kegiatan di laboratorium meliputi pengamatan terhadap proses fertilisasi pada abalone yang dikondisikan dengan menggunakan metode pengeringan dan penaikan suhu secara ekstrim untuk merangsang agar supaya abalone tersebut melepaskan sperma dan telurnya pada wadah yang sudah disediakan.
Penelitian ini direncanakan akan berlangsung selama kurang lebih empat bulan, dari bulan Agustus sampai november 2004, dimana kegiatan meliputi studi pustaka, penulisan proposal, ujian proposal, pengambilan sampel, analisis data, penyusunan laporan, ujian hasil, penyusunan skripsi, dan ujian skripsi seperti terlihat dalam tabel 2.
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel 3).


Alat
Foto camera
Spidol
Ember
Pisau
Airator

Termoneter
Mikroskop
Preparat
Kertas saringan
Pipet
Heater
Tissu
Counter

3.3. Teknik Pengambilan Sampel
Sampel diambil secara acak dengan terlebih dahulu melihat apakah spesimen tersebut sudah matang gonad atau belum, dengan cara membuka bagian dalam tubuhnya hingga terlihat gonadnya, apabila setelah dilihat spesimen sudah matang gonad maka spesimen-spesimen ini akan dibawa ke laboratorium.

3.4. Proses Fertilisasi di Laboratorium
Metode yang digunakan di laboratorium adalah metode gamet stripping (Pengurutan) yatiu, dengan cara abalon yang sudah matang gonad dipisahkan tubuh lunaknya dengan cangkang, gonadnya di tekan dengan jari agar sperma mengalir keluar melalui lubang ginjal dan sperma itu ditampung dalam bejana yang berisi air laut. Untuk betina dilakukan hal yang sama dengan jantan dan ditampung dalam bejana lain. Dua sampel ini kemudian disaring dan dicampur bersama-sama. Air laut dialirkan pada penyaring victoria law untuk membersihkan gamet yang rusak.
Setelah pengaliran air laut dalam bejana, maka kita dapat mengamati proses fertilisasi yang terjadi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2004. Mollusca. vicuna.us.itd.edu port 80 vicuna. Us.itdd.umich.edu.

Barnes, R.S.K., 1988. The Invertebrate Zoology. A new synnthesis, Departemen of Zoology and St. Catharines University of Camberidge. Hal 194 - 197.

Body, A.G.C., 1987. Abalone Culture in Japan. Marine Fisheries Refiew. Vol. 49., NO.4. Foreign Fishery Development Australia. Hal 75-78.

Dharma, B., 1988. Siput dan Kerang Indonesia (Indonesia Shell I ). Penerbit PT. Sarana Graha. Jakarta. 111 hal.

Fallu, Rc., 1991. Abalone Farming. Fishing news book a division of blackwell scientificpublication ltd. Universitas Street Carlton Victoria, Australia. 405 hal.

Giese, C. A. And J.S. Pearse., 1977. Reproduction of Marine Invertebrates Volume IV : Mollusc, Gastropods and Chepalopods. Departement of Biological Science and Marine Station Stanford California. 225 hal.

Hahn, K.O., 1989. CRC. Handbook of culture of Abalone and Other Marine Gastropoda. CRC Press, Inc. Florida. Hal 41-134.

Harahap, Z., 1993. Kelimpahan dan struktur populasi potensial reproduksi serta tinjauan pendahuluan tentang genetika populasi siput estuari Neritodryas sp. Skripsi. Universitas Sam Ratulangi Fakultas Perikana dan Ilmu Kelautan manado. 70 hal.

Kaligis, G.F.J., 1993. Abalone in North Sulawesi Phuket Marine Biological Center Thailand. 25 hal.

Kershaw, D. R., 1983. Animal Diversity. Formerly in zoology, Queen Marry College University of London. 495 hal.

Leighton, D. L., 1989. Abalone (genus Halotidae) Mariculture on the north America Pasific Coast. Buletin Perikanan Vol. 87. No. 3. Hal 689 – 702.

Nateewathana, A. Dan J Hylleberg., 1986. Thai Species of Abalone is Aquaculture Feasible. Phuket Marine Biological Center Thailand. 24 hal.

Nugranad, J., 1991. Molusc Hatchery in Thailand prachuap Khiri Khan Hactchery Experience. Phuket Marine Biological Center Spec. Publ. No. 9. Hal 79 – 81.

Nybakken, J. W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia, Jakarta. 459 hal.

Phushuk, B., Helleberg, J., 1986. Phuket Marine Biologi Center, Center Phuket Thailand. Hal 10 – 16.

Singhagraiwan, t., Doi, M., 1993. Seed Product and Culture of tropical Abalone, Haliotis Asinina. Line , EMDEC in Thailand. Hal 32.