15 Desember 2008

REPRODUKSI SEKSUAL KARANG DI INDONESIA

REPRODUKSI SEKSUAL KARANG DI INDONESIA: SUATU KAJIAN [1]1)



Oleh:



Munasik

Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Semarang


ABSTRAK



Studi reproduksi seksual karang menjadi populer setelah adanya laporan spawning massal 156 spesies karang tahun 1983 di Great Barrier Reef, Australia. Di Indonesia, kajian serupa spawning 14 spesies karang telah dilaporkan terjadi di Kepulauan Karimunjawa, Jepara (Jawa Tengah) pada tahun 1995. Pada periode yang sama di perairan Lombok barat, Nusa Tenggara Barat dilaporkan spawning 3 spesies karang. Hanya 1 spesies dari kelompok karang brooding Pocillopora damicornis di Pulau Panjang, Jepara yang telah dilaporkan melepaskan planulae setiap bulan. Sedangkan reproduksi seksual anggota family Pocilloporidae lainnya, Stylopora pistillata sampai saat ini masih menyisakan pertanyaan.

Reproduksi seksual karang (scleractinia) ditentukan oleh jenis karang maupun letak lintang dimana karang dapat hidup. Indonesia yang terletak digaris khatulistiwa kemungkinan mempunyai pola reproduksi yang berbeda dengan daerah subtropis. Iklim Indonesia yang memiliki musim hujan dan kemarau akan menentukan masa reproduksi seksual karang. Secara garis besar diperkirakan bahwa masa reproduksi karang di Indonesia terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok: (1) spawning sebelum musim hujan (Oktober-Nopember), (2) spawning sewaktu atau sesudah musim hujan (Januari-April) dan (3) spawning sepanjang tahun dan/atau tidak dipengaruhi musim, seperti karang brooding (melepaskan planulae).



Kata kunci: reproduksi seksual; karang; masa reproduksi; Indonesia



I. PENDAHULUAN



Studi reproduksi seksual karang menjadi populer setelah adanya laporan spawning masal 156 jenis karang tahun 1983 di Great Barrier Reef, Australia. Fadlallah (1983) telah mencatat studi reproduksi seksual di beberapa wilayah, seperti di Australia Barat (28 spesies), di Karibia (20 spesies), di Laut Merah (13 spesies), di Okinawa (11 spesies), di Hawaii (10 spesies) dan di Palau (10 spesies). Namun sayang, di wilayah-wilayah dimana terdapat karang yang melimpah belum ada laporan penelitian mengenai reproduksi karang, seperti di Asia Tenggara dan Afrika. Di Indonesia penelitian reproduksi karang sangat kurang. Reproduksi seksual beberapa jenis yang telah dipelajari antara lain Pocillopora damicornis, Stylophora pistillata, Acropora aspera di Pulau Panjang, Jepara (Syafrudin, 1997; Susilo, 1997; Munasik dan Azhari, 2002). Spawning 14 spesies karang di Kepulauan Karimunjawa, Jepara (Setyadi, 1996) dan studi histologi reproduksi karang Acropora dan Hydnophora di perairan Lombok, Nusa Tenggara Barat (Bachtiar, 2001). Sebagai pusat distribusi karang dunia maka penelitian reproduksi karang di wilayah Indonesia menjadi penting terutama berkaitan dengan usaha-usaha preservasi dan konservasi terumbu karang.

Karakteristik reproduksi karang pada suatu wilayah dapat dijadikan pijakan dalam manajemen ekosistem terumbu karang. Jenis kelamin, susunan gonad, fekunditas dan model reproduksi serta masa reproduksi suatu jenis karang sangat bermanfaat dalam prediksi rekruitmen populasi karang. Meskipun jenis kelamin (hermafrodit atau gonokorik) dan susunan gonad bersifat tetap pada setiap genus/famili di setiap wilayah (lihat Tabel. 7.2 dalam Harrison dan Wallace, 1990; Harrison, 1985) namun model reproduksi (spawning atau brooding) dan fekunditas lebih banyak ditentukan oleh kondisi lingkungan terumbu. Famili Acroporiidae adalah hermafrodit tetapi dapat memiliki model reproduksi dan fekunditas yang berbeda. Karang Acropora aspera di Pulau Panjang, Jepara adalah hermaphroditic-spawner memiliki jumlah oosit per polip lebih rendah daripada Acropora spp berjenis kelamin sama di Laut Merah (Munasik dan Azhari, 2002). Sedangkan Acropora palivera dan A. cuneata di Heron Island Great Barrier Reef mempunyai model reproduksi dengan mengerami larvae-nya atau hermaphrodite brooder (Kojis, 1986). Karang soliter Fungiidae adalah gonokorik dengan model reproduksi umumnya spawning (Krupp, 1983; Heyward et al., 1987; Hayashibara et al., 1993; Kramarsky-Winter dan Loya, 1998) tetapi di utara Pulau Sesoko, Okinawa Fungia fungites adalah gonochoric brooder (Munasik, 1999). Demikian pula hal yang sama ditemui pada masa reproduksi karang yang lebih bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Jenis Acropora spp. spawning pada bulan Oktober dan Nopember di Kepulauan Karimunjawa, Jepara (Setyadi, 1996) sedangkan Acropora di Pulau Panjang, Jepara spawning di bulan April (Munasik dan Azhari, 2002). Kekomplekan studi reproduksi karang semakin bertambah jika dikaitkan dengan dispersal larvae dan fase settlement planulae karang dengan faktor-faktor fisika kimia perairan.

Makalah ini merupakan rangkuman data-data pengamatan spawning dan studi histologi karang di Indonesia yang masih sangat terbatas yang meliputi Perairan Jepara (Pulau Panjang dan Kepulauan Karimunjawa) dan Perairan Selat Lombok. Dari analisa karakteristik reproduksi di dua wilayah perairan yang berbeda tersebut selanjutnya dibahas perkiraan musim reproduksi karang di Indonesia.



II. REPRODUKSI SEKSUAL KARANG



1. Jenis Kelamin Karang

Jenis kelamin hewan karang tidak mudah dilihat dari luar sebagaimana pada hewan tingkat tinggi lainnya. Untuk menentukan jenis kelamin secara langsung harus mengamati gonad matang di dalam coelenteron. Jenis kelamin dapat mudah dilihat lebih jelas sewaktu karang brooder mengandung embrionya dalam coelenteron. Testis karang biasanya berwarna putih, sedangkan ovarium tampak berwarna lebih menyolok merah, merah muda, orange, coklat atau biru (Harrison dan Wallace, 1990).

Jenis kelamin karang dibedakan atas hermafrodit dan gonokorik. Karang hermafrodit adalah karang yang menghasilkan gamet jantan dan gamet betina dalam satu koloni atau individu dalam sepanjang hidupnya. Sedangkan karang gonokorik adalah karang yang berbentuk koloni atau individu yang menghasilkan gamet jantan dan gamet betina secara sendiri-sendiri sepanjang hidupnya (dioecious, kelamin terpisah). Karang scleractinia yang termasuk dalam kelompok gonokorik kebanyakan adalah sub-ordo Fungiina, anatara lain: Agaricidae, Siderastreidae, Fungiidae dan Poritidae. Sedangkan kelompok hermafrodit adalah famili Acroporidae, Pocilloporidae, Faviidae, Merulinidae, Oculinidae, Musiidae dan Pectinidae (lihat review Richmond dan Hunter, 1990).

Karang hermaprodit menurut perkembangan gonadnya terbagi atas (1) hermafrodit simultan (simultaneous hermaphrodite) dan (2) hermafrodit berurutan (sequential hermaphrodite). Pada karang hermafrodit simultan, ovum dan sperma karang matang secara serentak (Policansky, 1982), sedangkan hermafrodit berurutan adalah kematangan ovum dan sperma berbeda waktunya. Matang gonad pada hermafrodit berurutan mempunyai dua pengertian, yaitu jantan matang lebih dulu daripada betina yang disebut protrandus, atau betina lebih dulu matang daripada jantan yang disebut protogynous (Ghiselin, 1974).

Harrison dan Wallace (1990) mendata bahwa 93 % dari keseluruhan karang hermafrodit tergolong dalam hermafrodit simultan, sedangkan sisanya belum jelas. Meskipun fenomena hermaprodit berurutan belum ada kejelasan pada karang scleractinia, namun sudah ada beberapa laporan mengenai tipe tersebut. Richmond (1996) mencatat sebagian besar Acroporidae, Faviidae dan beberapa Pocilloporiidae adalah termasuk hermafrodit simultan, sedangkan Stylophora pistillata dan Goniastrea favulus merupakan hermafrodit berurutan. Di Indonesia, sebagian besar laporan reproduksi seksual karang adalah dari kelompok hermafrodit sedangkan kelompok karang gonokorik sangat terbatas dan belum teridentifikasi (lihat Tabel 1). Jenis kelamin hermafrodit yang kemungkinan terjadi adalah tipe hermafrodit berurutan (sequential hermaphrodite) yang telah ditemukan pada Stylophora pistillata (Susilo, 1997), Acropora aspera (Munasik dan Azhari, 2002) dan Hydnophora rigida (Bachtiar, 2001). Hal ini ditunjukkan dengan perbedaan waktu kematangan gonad, dimana telur lebih dulu matang daripada sperma (protogynous).



2. Model Reproduksi

Secara umum karang mempunyai dua model reproduksi yang sangat berbeda, yaitu (1) brooding (mengandung larva) dan (2) spawning (pemijahan). Perbedaan ini ditentukan oleh cara pertemuan gamet jantan dan gamet betina. Pada karang yang melakukan brooding, telur-telur yang dibuahi secara internal di dalam gastrovasculer dierami hingga perkembangannya mencapai stadium larva planula. Sedangkan karang yang melakukan spawning adalah melepaskan telur-telur dan sperma ke kolom perairan dan pembuahan terjadi secara eksternal selanjutnya embrio juga berkembang di perairan. Sebagian besar karang di dunia bereproduksi dengan cara spawning, begitu pula dengan model reproduksi di Indonesia. Dari 21 spesies karang yang dilaporkan hanya 1 spesies (Pocillopora damicornis) yang melepaskan planulae dan 1 spesies (Stylophora pistillata) belum jelas model reproduksinya (Tabel 1). Perbedaan model reproduksi ini akan mempengaruhi beberapa aspek ekologi karang, antara lain transfer alga symbiont zooxanthellae ke dalam larva, larval competency (kemampuan larva dalam melakukan penempelan untuk menetap dan metamorfosis), penyebaran larva, pola distribusi karang, keanekaragaman genetis, laju spesiasi dan evolusi (Richmond, 1996).

Model reproduksi karang melalui spawning bertujuan untuk dispersal/penyebaran larvae dalam jarak jauh (long-distance dispersal), sedangkan cara brooding diperuntukkan bagi rekruitmen lokal (Hughes et al., 1999). Struktur populasi karang brooding Pocillopora damicornis di Pulau Panjang, Jepara menunjukkan kisaran ukuran koloni yang beragam. Hal ini mengindikasikan bahwa rekruitmen terjadi disekitar koloni-koloni induknya dimana juvenil karang menempel di sekitar induknya. Sedangkan spawning karang yang terjadi di Selat Lombok pada bulan Januari-Maret ditengara larvae karang akan melakukan perjalanan jauh dibawa oleh arus Leeuwin dan selanjutnya menempel dan tersebar di Australia Barat (Bachtiar, 2001).



Tabel 1. Karakteristik reproduksi seksual karang di Indonesia
Spesies


Jenis Kelamin


Model Reproduksi


Masa Reproduksi


Lokasi (Sumber Pustaka)

Acroporidae
Acropora aspera







Acropora cytherea

Acropora nobilis



Acropora hyacinthus

Acropora humilis



Acropora palifera
Montipora spumosa


Faviidae

Favia pallida





Favia pallida





Diploastrea heliopora

Cyphastrea microphthalma



Cyphastrea serailia
Goniastrea retiformis

Echinophora lamellosa

Echinophora horrida


Pectiniidae

Pectinia paeonia



Mycedium elephantotus



Agariciidae

Pachyserie speciosa



Pavona cactus



Oculinidae

Galaxea fascicularis


Merulinidae

Merulina scubricula





Hydnophora rigida


Poritidae

Porites lobata


Pocilloporidae

Pocillopora damicornis





Stylophora pistillata
III. MASA REPRODUKSI KARANG



Berdasarkan pengamatan spawning dan pelepasan planulae karang di Indonesia (lihat Tabel 1) masa reproduksi seksual karang dapat dikelompokkan dalam tiga musim setiap tahun. Spawning sebelum musim hujan (Oktober-Nopember), spawning sewaktu atau sesudah musim hujan (Januari-April) dan spawning atau pelepasan planulae sepanjang tahun (Gambar 1). Pengelompokan ini masih merupakan langkah awal, mengingat laporan-laporan reproduksi karang di Indonesia masih kurang dan belum didukung dengan data-data gametogenesis (perkembangan gamet) masing-masing jenis karang. Perkiraan musim spawning merupakan puncak-puncak spawning dan kemungkinan pada bulan-bulan lainnya diperkirakan terjadi spawning susulan pada populasi karang. Keadaan ini berbeda dengan kejadian spawning di wilayah lain belahan dunia. Di Great Barrier Reef Australia spawning masal terjadi di musim semi (Oktober-Nopember) sedangkan di wilayah Pasifik Tengah, Okinawa, Hawaii dan Laut Merah spawning terjadi pada musim panas (lihat review Richmond dan Hunter, 1990). Variasi temperatur tahunan dan curah hujan diindikasikan sebagai faktor utama penentu “timing” spawning karang. Spawning karang Montastrea annularis di Jamaika dipengaruhi kombinasi faktor temperatur dan curah hujan (Mendes dan Woodly, 2002). Spawning terjadi di bulan sebelum musim hujan dimana temperatur maksimum. Lebih jauh dinyatakan sebaliknya bahwa pembentukan gamet karang tidak dipengaruhi oleh curah hujan. Di Indonesia yang mempunyai musim kemarau dan musim hujan dengan kondisi perairan yang hangat sepanjang tahun maka kombinasi keduanya akan menentukan masa spawning. Sehingga kejadian spawning terjadi pada bulan-bulan mendekati musim hujan baik setelah maupun sebelumnya. Hal ini ditunjukkan dengan karang Hydnophora rigida yang mengalami spawning dua kali dalam
setahun (biannual spawning; Bachtiar, 2001) pada bulan Nopember (sebelum musim hujan) dan setelah musim hujan pada bulan Maret.

Gambar 1. Masa spawning dan pelepasan planulae karang di Indonesia

Kejadian spawning karang di Indonesia tampaknya terjadi kurang serentak antar jenis karang. Kecenderungan terjadinya sinkronisasi spawning antar jenis karang berkaitan pula dengan kisaran temperatur tahunan suatu wilayah. Semakin pendek kisaran temperatur tahunan di suatu wilayah akan semakin lemah sinkronisasi spawningnya. Spawning multijenis secara masal di perairan Great Barrier Reef Australia terjadi dengan kisaran temperatur tahunan 12 °C. Sedangkan wilayah dimana spawning terjadi kurang sinkron dengan temperatur berada pada kisaran 2,2 °C di Pasifik Tengah (Emery, 1962), kisaran 3,2 °C di Karibia (Tomascik dan Sander, 1987), di Hawaii dengan kisaran temperatur 4 °C (Jokiel, 1985), kisaran 6 °C di Laut Merah (Rinkevich dan Loya, 1979) dan kisaran 9,8 °C di Okinawa (Nakamura, 1984). Di Indonesia memiliki kisaran temperatur tahunan yang pendek, musim kemarau periode Juni-Oktober dengan kisaran 2 °C (27-29°C) sedangkan musim hujan periode Desember-Maret (28-30°C) dengan kisaran temperatur 2 °C (Kep. Kangean, Hartoko et al., 2000).

Dari data reproduksi yang tersedia menunjukkan bahwa sebagian besar karang di Indonesia adalah hermaprodite spawner dan beberapa diantaranya dilaporkan sebagai protogynous. Masa reproduksi karang dapat dikelompokkan menjadi tiga musim spawning: (1) spawning sebelum musim hujan (Oktober-Nopember), (2) spawning sewaktu atau sesudah musim hujan (Januari-April) dan (3) spawning sepanjang tahun dan/atau tidak dipengaruhi musim, seperti karang brooding (melepaskan planulae). Kombinasi temperatur laut dan curah hujan diperkirakan menentukan kejadian spawning di Indonesia. Menurut Gastellu-Etchegorry et al. (1987) pada bulan Oktober-Nopember perairan Indonesia memperoleh aliran air hangat dari Samudera India serta air hangat yang terjadi pada bulan Maret-April. Curah hujan yang rendah yang terjadi pada dua saat puncak spawning merupakan kondisi yang sangat mendukung. Saat spawning dapat dipicu oleh berbagai faktor lingkungan seperti pasang surut, fotoperiod sehingga spawning umumnya dipengaruhi oleh perputaran bulan (lunar). Spawning karang terjadi setelah purnama sedangkan pelepasan planulae oleh karang brooder terjadi pada bulan baru hingga bulan purnama.



DAFTAR PUSTAKA


Bachtiar I .2001. Reproduction of three scleractinian corals (Acropora cytherea, A. nobilis,
Hydnophora rigida) in eastern Lombok Strait, Indonesia. Majalah Ilmu Kelautan 21(V):18-27



Emery KO. 1962. Marine geology of Guam. Prof Pap US Geol Surv 403-B:1-76



Fadlallah YH. 1983. Sexual reproduction, development and larval biology in scleractinian

corals. A review. Coral reefs 2:129-150



Ghiselin MT. 1974. The economy of Nature and the Evolution of Sex. University of
California Press, Berkeley 346 pp



Harrison PL. 1985. Sexual characteristics of scleractinian corals: systematic and evolutionary

implications. Proc 5th Int Coral Reef Cong Tahiti 4:337-342



Harrison PL, Wallace CC. 1990. Reproduction, dispersal and recruitment of scleractinian coral.

In: Dubinsky Z (ed) Ecosystem of the world, Vol 25, Coral reefs. Elsevier, Amsterdam p 133-207



Hartoko A, Nganro NR, Nugroho W, Hasyim B. 2000. Dynamic mapping on spesific characters

of small pelagic fish ecosystem. Majalah Ilmu Kelautan 19(V):159-168



Hayashibara T, Shimoike K, Kimura T, Hosaka S, Heyward A, Harrison P, Kudo K, Omori M.

1993. Patterns of coral spawning at Akajima Island, Okinawa, Japan. Mar Ecol Prog Ser 101:253-262



Heyward AJ, Yamazato K, Yeemin T, Minei M. 1987. Sexual reproduction of corals in
Okinawa. Galaxea 6:331-343



Hughes TP, Baird AH, Dinsdale EA, Moltschaniwskyj NA, Pratchett MS, Tanner JE, Willis

BL. 1999. Patterns of recruitment and abundance of corals along the Great Barrier Reef. Nature 397:59-62



Jokiel PL. 1985. Lunar periodicity of planula release in the reef coral Pocillopora damicornis in

relation to various environmental factors. Proc 5th Int Coral Reef Symp. Tahiti 4:307-312



Kojis BL. 1986a. Sexual reproduction in Acropora (Isopora) species (Coelenterata:Scleractinia)

I. A. cuneata and A. palifera on Heron Island reef, Great Barrier Reef. Mar Biol 91:291-309



Kramarsky-Winter E, Loya Y. 1998. Reproductive strategies of two fungiid corals from the

northern Red Sea: environmental constrain? Mar Ecol Prog Ser 174:175-182



Krupp DA. 1983. Sexual reproduction and early development of the solitary coral Fungia

scutaria (Anthozoa:Scleractinia). Coral reefs 2:159-164



Mendez JM, Woodley JD. 2002. Timing of reproduction in Montastrea annularis: relationship

to environmental variables. Mar Ecol Prog Ser 227:



Munasik. 1999. Sexual Reproduction on The Solitary Coral Fungia fungites in Okinawa.

Japan . MSc Thesis. The University of The Ryukyus, Okinawa Japan



Munasik, Azhari A. 2002. Masa reproduksi dan struktur gonad karang Acropora aspera di

Pulau Panjang, Jepara. Prosiding Konperensi Nasional III 2002 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia 21-24 Mei 2002 (in press)


Nakamura S. 1984. Record of air temperature, surface water temperature and chlorinity at
Sesoko in 1983. Galaxea 3:105



Policansky D. 1982. Sex change in plants and animals. Annu Rev Ecol Syst 13:471-495


Richmond RH. 1997. Reproduction and recruitment in corals: Critical links in the persistence of

reefs. Pp 175-197 In: Birkeland CE (Ed) The life and death of coral reefs. Chapman and Hall. Publisher. NY 536pp



Richmond RH, Hunter, CL. 1990. Reproduction and recruitment of corals: comparisons among

the Caribbean, the Tropical Pacific, and the Red Sea. A review. Mar Ecol Prog Ser 60:185-203



Rinkevich B, Loya Y. 1979. The reproduction of the Red Sea coral Stylophora pistillata II.

Synchronization in breeding and seasonality of planula shedding. Mar Ecol Prog Ser 1:145-152



Setyadi EG .1996. Studi tentang rekruitmen karang untuk terumbu karang buatan dengan

berbagai tipe substrat kolektor di Pulau Panjang dan Kepulauan Karimunjawa, Jepara. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro h70


Susilo, H. 1997. Studi gametogenesis karang Stylophora pistillata dari Pulau Panjang,

Jepara. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro h51

Syafrudin H (1997) Studi gametogenesis dan planulasi karang Pocillopora damicornis.
Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro h48



Tomascik T, Sander F. 1987. Effects of eutrophication on reef building coral Porites porites.

Mar Biol 94:77-94



Widjatmoko W, Djunaedi A, Suprianto J, Munasik. 1997. Studi reproduksi karang Pocillopora

damicornis dan Stylophora pistillata di Perairan Jepara sebagai upaya konservasi terumbu karang. Laporan penelitian. Jurusan Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro Semarang h42





[1]) Disampaikan pada Konperensi Nasional III 2002 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia,

Bali 21- 24 Mei 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar